Laman

Jumat, 14 Oktober 2011

Studi al-Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Alqur’an merupakan firman Allah yang diriwayatkan secara mutawatir kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an juga merupakan kitab terakhir yang diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi manusia dalam kehidupan. Al-Qur’an juga berfungsi sebagai kitab yang menunjukkan manusia keluar dari kegelapan. Selain itu, al-Qur’an juga membuka cakrawala berpikir manusia untuk lebih terbuka pada kondisi dan situasi yang ada.
Dalam perkembangannya, al-Qur’an mengalami banyak penafsiran yang bermacam-macam. Penafsiran itu sendiri berkembang seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan Islam itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh kenyataan adanya ayat-ayat tertentu yang maksud dan kandungannya tidak bisa dipahami sendiri oleh sahabat, kecuali harus merujuk kepada Rasulullah. Hanya saja, dahulu tidak sama besarnya dengan masa- masa berikutnya.
Sejalan dengan itu, ilmu tafsir terus-menerus berkembang dan semakin banyak kitab-kitab tafsir dengan metode dan cara-cara yang berbeda. Dan kesemuanya itu sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari perkembangan ilmu tafsir tersebut.
Secara umum, metode penafsiran jika merujuk pada pendapat ’Abd al- Hayy al-Farmawi, yang mengutip pendapat Sayyid Qummiy, dan juga dikutip oleh Mursi Ibrahim al-Fayumi. Keempat metode tersebut adalah Tahliliy, Ijmaly, Muqarran, dan metode maudhu’iy.
Dalam makalah ini, pemakalah akan membahas salah satu corak dari tafsir tahliliy yaitu corak tafsir sufi. Seiring berkembangnya aliran sufi, banyak yang menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan faham sufi yang dianut. Oleh karenanya, perlu kiranya pemakalah memaparkan tentang tafsir sufi secara terperinci.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan diatas, maka perlu adanya perumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa tafsir sufi ?
2. Bagaimana sejarah perkembangan tafsir sufi ?
3. Apa saja macam-macam tafsir sufi ?
4. Apa perbedaan tafsir sufi Nazari dan tafsir sufi Isyari?
5. Apa kelebihan dan kekurangan tafsir sufi?
6. Bagaimana masa depan tafsir sufi selanjutnya?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mendeskripsikan arti sufi dan tafsir sufi
2. Memaparkan sejarah dan perkembangan tafsir sufi
3. Mengetahui macam-macam tafsir sufi
4. Perbedaan tafsir sufi nazari dan dan tafsir sufi isyari
5. Mengetahui kelebihan dan kekurangan tafsir sufi
6. Mengetahui masa depan tafsir sufi selanjutnya















BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir Sufi
1. Latar Belakang Tasawuf
Sebagai suatu istilah, kata tasawuf tidak dikenal dalam kalangan generasi umat Islam pertama dan kedua. Generasi ini lebih dikenal dengan generasi sahabat dan tabiin. Oleh karena itu, ilmu tasawuf kemudian menurut Ibnu khaldun adalah suatu ilmu yang lahir didunia Islam kemudian. Asal- usulnya adalah bahwa sejak masa awalnya para sahabat dan tabiin serta generasi berikutnya memilih jalan hidayah (berpegang pada Alquran dan sunnah nabi) dalam kehidupannya. Mereka gemar beribadat, menjauhkan diri dari kemewahan hidup duniawi dan mengasingkan diri untuk beribadat, berzikir dan sebagainya. Akan tetapi setelah banyak orang Islam berkecimpung mengejar kemewahan duniawi pada abad kedua dan setelahnya, maka orang-orang yang mengarahkan hidupnya kepada ibadat disebut sufiyyah dan mutasawwifin.
Dalam kitab at-Tafsir wal mufassirun jilid II karya Husain Al-Dzahabi dijelaskan bahwa :
وقع الاختلاف فى أصل هذه الكلمة "تصوف" فقيل: إنها مشتقة من الصوف، وذلك لأن الصوفية خالفوا الناس فى لبس فاخر الثياب فلبسوا الصوف تقشفاً وزهدا ً

Maksudnya bahwa terdapat perbedaan dalam memahami asal kata ’tasawwuf’. Dikatakan berasal dari kata ’souf’, itu karena orang sufi berbeda dengan yang lain dalam berpakaian. Dalam berpakaian orang sufi lebih zuhud.
Makna lain tasawwuf menurut Muhammad Husein Al-Dzahabi
وأما معنى التصوف .. فقيل: "هو إرسال النفس مع الله على ما يريده".
Menyerahkan diri pada Allah atas segala apa yang menjadi keinginannya

2. Dasar Tasawuf
Penafsiran- penafsiran sufistik terhadap al- Qur’an dan hadits sufistik tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW. Dalam segi batiniyahnya, yang menurut (Louis Massignon dan Mustafa A. Raziq) jumlahnya sangat terbatas, muncul pada akhir-akhir ini, sehingga sangat diragukan bahwa konteksnya adalah tentang sufi.
Bahkan teks-teks tentang sufi hanya dibicarakan dan dipahami oleh sekelompok tertentu. Hal itu tentu saja tidak memberikan pengaruh terhadap negeri-negeri Arab Islam, dalam dua abad permulaan hijrah.
Jika diamati teks-teks fiksi yang belakangan, maka akan didapatkan nama Al-Jahizh dan Ibnu al- Jauzi. Kedua orang ini termasuk ahli bercerita. Keduanya telah menghafal sekitar empat puluh nama ahli zuhud yang benar-benar hidup dimasa itu. Cerita kelakuan mereka didalam beribadah merupakan petunjuk yang jelas tentang adanya kehidupan tasawuf, hanya saja tidak dapat dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW telah mencetak para sufi di kalangan masyarakat muslim awal.
Hal itu dikarenakan adanya hadits yang sangat terkenal, terlepas apakah sahih atau tidak; yakni “ la rahbaniyyata fi al- Islam (tiada kerahiban dalam Islam)” yang menjadi rujukan sprenger dalam menjelaskan perkembangan aliran tasawuf.
Hadits ini setidaknya muncul pada abad ketiga hijriyah. Tampaknya hadits ini diupayakan sebagai penguat dan sandaran bagi tafsiran baru untuk ayat ke dua puluh tujuh (27) dari surat al- hadid yang menyebutkan masalah kerahiban, dalam arti mengharamkan kerahiban bahkan sesungguhnya Islam mengharamkan untuk mendekatinya.
Para mufassir permulaan abad ketiga hijriyah seperti Mujahid, Abu Umamah al- Bahili dan ara sufi generasi pertama, bersepakat atas tafsir ayat ini ; sebagai kebolehan bahkan keterpujian sikap kerahiban. Hal ini terjadi sebelum tersiarnya tafsir yang berlawanan dengannya, yang dikemukakan oleh Az-Zamakhsyari dan mengungguli semua penafsiran yang ada.
Dapat dipahami jika para sufi muslim mengklaim bahwa diantara sahabat ada dua orang yang terhitung sebagai sufi pendahulu, yakni Abu Dzar al-Ghiffari dan Hudzaifah. Juga disebutkan bahwa tokoh bernama Uweis dan Shuhaib pun menjalani hidup seperti dua sahabat tersebut.
Sesudah mereka, muncullah para ahli ibadah, ahli zuhud, ahli-ahli yang hanya pandai meratap, dan ahli-ahli kisah. Mereka itu pada mulanya tercerai- berai dalam berbagai kelompok yang terpisah kemudian disatukan dalam dua kelompok besar. Keadaan mereka diwaktu itu sama dengan kondisi orang-orang yang memperdalam semua ilmu- ilmu keislaman. Pusat dari dua kelompok besar itu dibatasi oleh Jazirah Arab. Yang satu di Bashrah, yang lainnya lagi di Kufah.
Bangsa Arab yang menetap di Bashrah berasal dari Bani Tamim. Mereka yakin dan percaya hanya pada kenyataan. Mereka membebani ilmu nahwu dengan mantiq (logika) dan mengubah syair-syair dengan sesuatu yang terjadi (bukan khayalan), serta bersika kritis terhadap hadits.
Pada umumnya mereka bermazhab ahlus sunnah, dengan sempalan yang ikut Mu’tazilah dan Qodariyyah. Syaikh-syaikh mereka antara lain; Hasan al-Bashri (wafat 110 H/728 M), Malik bin Dinar, Fadhil ar- Ruqasyi, Rabah bin amr al- Qaisi, Shulhan al- Murri, dan Abdul Wahid ibn Zaid (wafat 177 H/793 M)
Sedangkan kelompok kedua, yakni kelompok Kuffah, berasal dari Yaman. Mereka adalah penganut faham tamtsil dan taqlid. Mereka memahami ilmu nahwu dengan hal-hal yang syadz (ganjil), menggubah syair dengan khayalan, serta memahami hadits dari sisi zahirnya.
Kebanyakan mereka bermadzhab Syi’ah, dengan sedikit cenderung ada faham Murji’ah. Syaikh- syaikh mereka antara lain; Rabi’ bin Khaisyam (wafat th 67 H/ 686 M), Abu Israil al- Mula’i (wafat tahun 140 H/ 757 M), Jabir bin Hayyan, Kulaib as- shaidawi, Manshur bin ‘Ammar, Abu al-‘Atahiyyah, dan ‘Abdak. Separuh kehidupan mereka dihabiskan di Baghdad, Ibukota Pemerintahan Islam yang telah menjadi pusat gerakan sufi setelah 250 H. Di tahun inilah permulaan terbentuknya perkumpulan dan halaqoh untuk mendiskusikan masalah-masalah agama. Sebelumnya pelajaran- pelajaran sufi diberikan di masjid- masjid.
Masa tersebut menjadi titik awal munculnya perseteruan dan perselisihan yang nyata di antara para shufi dan ahli fiqih. Dapat dimasukkan sebagai tokoh sufi di akhir masa ini Dzun Nun al-Mishri (tahun 240 H), An- Nuri, Abu Hamzah (antara tahun 262-269 H/ 875-882 M) serta al- Hallaj.
Pada abad ketujuh hijriah dimulailah masa ketiga dan akhir dari perkembangan mazhab Tasawuf. Madrasah sufi yang muncul pada saat itu adalah madrasah yang oleh musuh-musuhnya disebut sebagai Al- Wihdatiyah/ Al-Wujudiyah karena menyerukan kepada paham Wihdatul Wujud.
Para pendukung mazhab ini menyatakan bahwa mazhab mereka mempunyai pijakan. Mereka mentakwilkan beberapa ayat dalam al-Qur’an (surat al- Baqarah ayat 109, al-Qashash ayat 88, dan surat Qaf ayat 15) yang memerkuat pendapat mereka, sebagaimana mereka menakwilkan kalam aliran-aliran Asy’ariy terdahulu, bahwa segala keadaan itu bersifat ruhiyah. Bahwa sesungguhnya hal itu tiada lain adalah satu bentuk perbuatan diantara perbuatan-perbuatan Allah, yang muncul dariNya tanpa perantara siapapun.
Juga dengan dasar bahwa mazhab al-Wahdatiyah ini pada kenyataannya berkembang dari pemikiran yang muncul sejak abad ketiga hijriyah. Yakni bahwa Nur Muhammad yang dikatakan oleh Mu’allimin ‘adriyah’ tersebut adalah ‘akal yang aktif’, yang lahir pada masa yunani akhir. Sesungguhnya tetapnya segala sesuatu didalam ilmu Allah itu adalah derajat tertinggi keberadaannya. Sesungguhnya nafs itu wajib untuk menyatu dengan-Nya, sesuai kemanunggalan obyek akal didalam ubyek akal.
Ibnu Araby adalah tokoh yang pertama kali menyiarkan pokok-pokok asas mazhab Wihdat al- wujud. Ibnu Taimiyah memperhatikan bahwa mazhab Ibnu araby pada intinya menyatakan bahwa: “keberadaan wujud makhluk merupakan perwujudan khaliq”
Pada abad ke-17 Masehi, Al- Kaurani dan An-Nabilisi menampakkan kebenciannya terhadap ahlussunnah. Karena keduanya telah sampai kepada kesimpulan bahwa mazhab wihdat al- wujud adalah penakwilan yang paling benar dari syahadat “tiada Tuhan selain Allah” dalam ajaran Islam.
3. Struktur Ilmu Tasawuf
Seorang manusia ketika ingin menjadi lebih dekat dengan Rabb nya maka, harus memahami dan mengerti terhadap dua hal penting yang dalam ilmu tasawuf disebut dengan Maqamat dan Ahwal.
Maqamat merupakan suatu jalan atau stasiun yang harus dilalui oleh seorang sufi. Sedangkan ahwal merupakan karunia atau pemberian Allah kepadanya sebagai hasil dari usahanya. Dalam hal ini terdapat suatu rumusan yang berbunyi:
الأ حوال مواهب والمقامات مكاﺴب
Dalam hal ini maqamat ditamsilkan seperti kayu yang ditanam, diberi pupuk, disiram dan sebagainya yang merupakan usaha manusia, sedangkan ahwal adalah buah dari kayu tersebut yang merupakan karunia dari Allah. Artinya, usaha manusia hanya dalam menjaga dan memelihara kayu tersebut, sedangkan buahnya bukanlah usahanya, tetapi merupakan pemberian Allah kepadanya. Dan sebagai karunia atau pemberian, maka ahwal itu bergantung sepenuhnya kepada kehendak Allah yang terkadang diberikan dan terkadang tidak.
Mengenai ahwal yang merupakan karunia rohani dari Allah kepada para sufi yang dikehendaki-Nya dalam wujud pengalaman bathin sulit dijelaskan karena sangat bersifat “emosi rohani” yang membathin tidak dapat tertangkap sepenuhnya oleh bahasa. Hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang mempunyai pengalaman rohani yang sama. Yakni hanya orang sufi yang saling memahami pengalaman rohani masing-masing.
Untuk ahwal sendiri terdapat perbedaan pendapat dalam kalangan para sufi. Akan tetapi, pemakalis akan mengambil kutipan dari kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam al- Ghazali. Maqam dalam tasawuf menurut kitab Ihya’ ulumuddin dan beberapa sumber yang ada antara lain:
a) Maqam Taubat
Maqam taubat merupakan asas dan tiang segala maqam dan kunci segala ahwal. Tobat merupakan kesadaran hati terhadap kelalaian diri dan memandang diri dalam keadaan yang serba kurang karena tercemar dengan berbagai dosa.
Imam al- Qusyairi mengatakan bahwa syarat sah tobat ada 3: (1) menyesal atas kesalahan atau maksiat yang telah dilakukan, (2) meninggalkan maksiat itu dengan segera, dan (3) berazam untuk tidak melakukannya lagi di masa yang akan datang.
Penjelasan mengenai tobat diberikan oleh Imam al-Ghazali sebagai berikut:
Tobat ialah meninggalkan dosa dan itu hanya mungkin setelah orang yang bersangkutan mengetahui dosa itu. Jika tobat merupakan sesuatu amalan yang wajib, maka apa saja yang dapat membantu kita sampai kepadanya juga wajib. Jadi, mengenal dosa adalah wajib. Dan yang dimaksud dengan dosa adalah semua yang menyalahi perintah Allah artinya meninggalkan perintah-Nya dan menjalani larangan-Nya.
Beberapa sumber yang menimbulkan dosa itu terletak pada empat sifat: (1) Sifat ketuhanan (sombong, takabur, bangga, memaksa, dsb); (2) Sifat setan (dengki, menipu, merampok, dsb); (3) Sifat hewan (rakus, tamak, zina, dsb) dan (4) Sifat buas (marah, memukul, mencaci, membunuh, dsb).
b) Maqam Zuhud
Yang dimaksud dengan zuhud adalah meninggalkan keinginan kepada sesuatu karena mengikuti keinginan lain kepada sesuatu yang lebih baik.
Dalam menempuh zuhud ini, dibagi dalam tiga tingkatan: Pertama,tingkat permulaan. Orang yang ingin meninggalkan kesenangan duniawi tapi masih menginginkannya, sehingga dia berusaha sekuat tenaga untuk mencapai tingkat zuhud yang diinginkannya. Kedua, tingkat menengah. Dimana orang tersebut merasa enjoy meninggalkan kenikmatan duniawi akan tetapi dia masih teringat kepada nikmat duniawi ini. Ketiga, tingkat tinggi yakni orang yang ingin berzuhud sepenuh hati dan dia telah berzuhud dalam zuhud. Yakni dia telah tenggelam dalam zuhud.
Adapun tujuan yang ingin diperoleh dalam zuhud ada tiga tingkat: (1) untuk mendapat keselamatan dari azab neraka, azab kubur, kesengsaraan di padang mahsyar dan sebagainya yang sangat ditakuti. Zuhud orang ini disebut “zuhud penakut”. (2) untuk mendapat pahala dari Allah dan nikmat di akhirat dengan masuk ke dalam syurga- Nya. Zuhud ini disebut dengan “zuhud orang berharap”. (3) zuhud untuk Allah semata dan untuk bertemu dengan-Nya. Inilah zuhud tingkat tinggi yang biasa disebut dengan orang kamil.
c) Maqam Faqr (Kefakiran)
Maqam kefakiran merupaka suatu sikap yang timbul dari seseorang yang memilih hidup zuhud, yang dimaksud fakir dalam ilmu tasawuf adalah suatu sikap bathin yang berwujud tidak ada keinginan pada kekayaan duniawi.
Dalam pengertian tasawuf, faqr itu bukan lagi miskin harta, tidak mempunyai makanan yang dimakan sehari-hari, tetapi miskin itu adalah orang yang senantiasa berhajat dalam hidup ini kepada Allah. Jadi, faqr itu adalah orang yang hanya memperkaya rohani atau bathinnya dengan Allah.
d) Maqam Wara’
Maqam Wara’ lebih pada menahan diri dari menyimpang mengingat Allah. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa yang dimaksud wara’ adalah sikap seseorang terhadap perkara yang halal dan haram, seperti yang digariskan dalam syariat. Dalam perkara tersebut terdapat empat golongan orang wara’.
(1) Wara’ Orang Awam
Wara’ ini merupakan wara’ orang biasa yang menahan diri dari melakukan apa yang wajib atasnya hukum fasik atau hilang darinya sifat adil jika ia melakukan sesuatu yang dilarang oleh agama. Artinya, wara’ terhadap larangan Allah.
(2) Wara’ Orang saleh
Golongan ini adalah orang yang menahan diri dari menyentuh atau memakan sesuatu yang mungkin akan jatuh kepada yang haram seperti makan sesuatu yang syubhat.
(3) Wara’ Orang Bertaqwa
Golongan ini adalah orang yang menahan diri dari sesuatu yang tidak diharamkan oleh ajaran agama dan bukan pula barang yang syubhat, tetapi dia menahan diri dari perkara tersebut karena takut jatuh kepada yang haram.
(4) Wara’ Orang Benar
Wara’ golongan ini adalah menahan diri dari apa yang tidak berdosa sama sekali dan tidak khawatir jatuh ke dalam dosa, tapi dia menahan diri melakukannya karena takut tidak ada niat untuk beribadat kepada Allah atau karena dapat membawanya kepada sebab-sebab yang memudahkannya melakukan maksiat.
e) Maqam Sabar
Sabar merupakan sifat yang sangat terpuji. Dalam kitab suci al-Qur’an dan hadits banyak terdapat keutamaan sabar. Sabar itu ada dua macam: Sabar Jasmani seperti sabar dalam menanggung kesukaran yang ada kalanya dalam bentuk kerja seperti kerja berat dalam mencari rezeki ataupun dalam beribadat. Kemudian sabar rohani yang sangat terpuji. Yakni menahan atau mengawal diri dari godaan hawa nafsu yang mendorong orang kepada maksiat.
f) Maqam Ridha
Ridha adalah menerima dengan senang hati apapun yang menjadi kehendak Allah kepada diri kita. Rabi’ah al- Adawiyah mengatakan bahwa seseorang dapat dipandang ridha apabila dia senang terhadap musibah yang menimpanya seperti dia gembira terhadap nikmat yang didaatkannya.
Ada perbedaan dikalangan dikalangan sufi tentang ridha itu suatu maqam atau ahwal. Para sufi dari kawasan Khurasan misalnya memandang bahwa ridha adalah suatu maqam sedangkan para sufi dari iraq memandangnya sebagai suatu hal.
g) Maqam Tawakal
Yang dimaksud dengan tawakal dalam pengertian sebagian sufi adalah mencampakkan badan dalam Ubuddiyah, menggantungkan hati pada rububiyyah dan menentramkan hati pada kecukupan.
Dan seperti yang telah ditafsirkan oleh al-Ghazali bahwa tawakkal adalah suatu ibarat tentang ketergantungan hati sepenuhnya pada orang yang dijadikan walinya. Sufi lain berkata tentang tawakal: “ maqam awal dari tawakal adalah agar seseorang hamba berada dihadapan Allah seperti orang mati yang dimandikan. Dibolak-balik sekehendak hatinya sedangkan dia tidak berkehendak dan tidak mengatur.
Paham Wihdat al-Wujud jika ditilik lagi dari buku yang ada, bahwasanya dalam paham wihdat al- wujud ini mengajarkan tauhid wujudi, hakikat wujud itu “adalah satu dalam hakikat, banyak dalam sifat dan nama, tidak ada kejamakan kecuali dari segi pandangan, nisbah dan rangkaian. Hakikat wujud itu qadim lagi azali tidak berubah dan yang berubah hanya bentuk atau rupa lahiriahnya. Kita katakan: dia alam. Dia adalah Tuhan dan alam, Esa dan banyak, Qadim dan baharu, awal dan akhir, Dzahir dan Bathin dsb. yang bercirikan kontradiksi itu karena perbedaan dalam segi pandangan, bukan pada hakikat. Demikianlah pengertian Tauhid wujudi yang berasal dari paham wihdat al- wujud yang diajarkan oleh Ibn. Araby.
Pengertian tafsir sufi Menurut Prof. Dr. Moh, Quraish Shihab bahwa tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi.
B. Sejarah Lahirnya Tafsir Sufi
والتصوف بهذا المعنى موجود منذ الصدر الأول للإسلام، فكثير من الصحابة كانوا معرضين عن الدنيا ومتاعها، آخذين أنفسهم بالزهد والتقشف، مبالغين فى العبادة، فكان منهم مَن يقوم الليل ويصوم النهار، ومنهم مَن يشد الحجر على بطنه تربية لنفسه وتهذيباً لروحه، غير أنهم لم يُعرفوا فى زمنهم باسم الصوفية، وإنما اشتهر بهذا اللقب فيما بعد مَن عُرفوا بالزهد والتفانى فى طاعة الله تعالى، وكان هذا الاشتهار فى القرن الثانى الهجرى، وأول من سُمِّى بالصوفى: أبو هاشم الصوفى المتوفى سنة 150 هـ (خمسين ومائة من الهجرة).

Secara garis besarnya dapat ditarik pengertian bahwa Tasawuf merupakan kata yang tidak asing dalam khazanah pengetahuan Islam, banyak di antara sahabat yang melakukan praktik tasawuf yaitu hidup dalam zuhd dan ibadah dan yang lainnya, tetapi mereka belum mengetahui istilah tasawuf. Dan orang yang dianggap pertama kali namanya menggunakan sufi adalah Hasyim al-Sufi (w. 150 H.).
Praktik-praktik zuhud yang dilakukan ulama angkatan I dan II berlanjut sampai pada masa pemerintahan Abbasiyah (4 H.), ketika itu umat Islam mengalami kemakmuran yang melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktik hidup sederhana saja, tetapi mulai ditandai dengan berkembangnya suatu cara penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu tasawuf. Pada masa ini tasawuf telah mengalami percampuran dengan filsafat dan kalam, sehingga munculah apa yang dikenal dengan tasawuf falsafinazari dan tasawuf ‘amali. Tasawuf falsafi yaitu yang menjadikan tasawuf sebagai kajian dan pembahasan. Adapun tasawuf ‘amaly yaitu tasawuf yang dibangun dengan praktik-praktik zuhud taat kepada Allah swt.
Dari hal tersebut di atas mulai adanya ketidakmurnian dalam tasawuf, orang-orang yang bukan ahlinya mencoba mempelajari tasawuf dengan landasan ilmu yang dianutnya. Sehingga hal tersebut sangat berpengaruh pada bidang lainnya seperti fiqh, hadis dan tafsir. Pada masa ini pula bermunculan istilah-istilah seperti khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul dan lain sebagainya. Dan sejak itu pula selanjutnya tasawuf telah menjadi lembaga atau disiplin ilmu yang mewarnai khazanah keilmuan dalam Islam, seperti halnya filsafat, hukum dan yang lainnya.
Dua macam tasawuf yang telah disebutkan di atas, telah membawa pengaruh besar terhadap penafsiran al-Qur’an sehingga muncul apa yang dikenal sebagai tafsir sufi nazry dan tafsir sufi isyari.
C. Corak Tafsir Sufiy
Corak tafsir sufi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tafsir sufiy al-nazhari dan tafsir shufi al-isyari yang keduanya memiliki karakteristik tersendiri.
1. Tafsir Sufi Nazari
Untuk tafsir shufiy nazari banyak digeluti oleh para penganut tasawuf teoritis yang didasarkan atas hasil pembahasan dan study, serta mencoba meneliti dan mengkaji al-Qur’an berdasarkan teori-teori madzhab dan untuk melegitimasi terhadap kebenaran ajaran- ajaran mereka.
Pengertian tafsir sufi Nazari ialah tafsir sufi yang didasarkan atas hasil pembahasan dan studi.
تصوف نظرى: وهو التصوف الذى يقوم على البحث والدراسة. .
Ulama yang kompeten dalam tafsir sufi nazari yaitu Muhyiddin Ibn ‘Arabiy. Beliau dianggap sebagai ulama tafsir sufiy Nazari yang menyandarkan beberapa teori tasawufnya dengan al-Qur’an. Beliau telah menulis buku dengan judul Futuhat al- Makkiyah dan Nushush al-Hukmi. Dibawah ini akan dikemukakan contoh penafsiran Ibn al-‘Arabiy terhadap ayat al-Qur’an, yang dalam penafsirannya ia mengabaikan segi tekstual ayat, dan lebih mementingkan segi batiniyahnya, yaitu penafsiran yang berkaitan dengan paham Wihdat al- wujud.
Dalam kitab Tafsir al-Mufassirun terdapat beberapa contoh yang menunjukkan bahwa Ibn ‘Arabi menafsirkan dengan dipengaruhi faham Wihdah al- Wujud, antara lain :

فى أول سورة النساء}: يٰأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمْ مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ ... {الآية، نجده يقول: }ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ{ اجعلوا ما ظهر منكم وقاية لربكم، واجعلوا ما بطن منكم - وهو ربكم - وقاية لكم، فإن الأمر ذم وحمد، فكونوا وقايته فى الذم، واجعلوه وقايتكم فى الحمد تكونوا أدباء عالمين".

Misalnya, ketika menafsirkan awal surat An-Nisa yang secara dhahir bermakna “ Wahai sekalian umat manusia bertakwalah kalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu diri (jenis)”. Kemudian Ibn ‘Arabi menafsirkan “Bertakwalah kepada Tuhanmu. Jadikanlah bagian yang dhahir dari dirimu sebagai penjaga bagi Tuhanmu. Dan jadikanlah bagian batinmu yang adalah Tuhanmu itu, sebagai penjaga bagi dirimu. Karena perkaranya adalah perkara celaan dan pujian. Maka jadilah kalian pemelihara-Nya dalam celaan, dan jadikanlah Dia pemelihara kalian dalam pujian, niscaya kalian akan menjadi orang-orang yang paling baik di seluruh alam.”
من سورة الإسراء}: وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوۤاْ إِلاَّ إِيَّاهُ: "..{ فعلماء الرسوم يحملون لفظ "قضى" على الأمر، ونحن نحمله على الحكم كشفاً وهو الصحيح

Dalam ayat 23 dari Surat al-Isra’ : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan (qadha) supaya kamu jangan menyembah selain Dia”. Para ulama cenderung melihat pernyataan tekstual dalam al-Qur’an memberikan arti lafazh Qadha, tetapi saya (Ibn ’Arabi) mengartikannya dengan ”memutuskan untuk membuka”, dan menurut Ibn ‘Arabi itulah yang benar.
Selanjutnya dari surat al-Fajr ayat 29-30 juga lebih condong pada penafsiran untuk menguatkan paham wihdatul wujud.

من سورة الفجر}: فَٱدْخُلِي فِي عِبَادِي * وَٱدْخُلِي جَنَّتِي .. { يقول}: وَٱدْخُلِي جَنَّتِي{ التى هى سترى، وليست جنتى سواك، فأنت تسترنى بذاتك الإنسانية فلا أُعرف إلا بك، كما أنك لا تكون إلا بى، فمَن عرفك عرفنى، وأنا لا أُعرف فأنت لا تُعرف، فإذا دخلت جنته دخلت نفسك، فتعرف نفسك معرفة أُخرى، غير المعرفة التى عرفتها حين عرفتَ ربك بمعرفتك إياها، فتكون صاحب معرفتين: معرفة به من حيث أنت، ومعرفة به من حيث أنت، ومعرفة به بك من حيث هو لا من حيث أنت، فأنت عبد رأيتَ رباً، وأنت رب لمن له فيه أنت عبد، وأنت رب وأنت عبد لمن له فى الخطاب عهد"

Wadkhuli jannati, menurut tafsirannya adalah masuklah ke dalam diri kamu (manusia) untuk mengetahui Tuhanmu karena Tuhan itu adalah diri kamu sediri (manusia). manusia untuk bisa mengetahui Tuhan yang ada pada dirinya adalah dengan menyingkap penutup yang ada pada diri manusia yaitu nafsu insaniyah. Jika kamu telah masuk ke dalam surga-Nya maka kamu telah masuk dalam diri kamu, dan mengetahui akan Tuhan yaitu ada dalam dirimu. Dengan perkataan lain bahwa kamu (manusia) adalah Tuhan dan kamu juga adalah Hamba.
Menurut Muhammad Husain Adz-Zahabi dalam tafsir al- Mufassirun menjelaskan bahwa ciri-ciri atau karakteristik dalam penafsiran nazary antara lain:
Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tafsir nadhory sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Hal ini nampak dari contoh surat Maryam ayat 57:
وَرَفَعْنَاهُ مَكَاناً عَلِيّاً
Menurut Adh-Dhahabi penafsiran Ibn al-‘Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat alam yaitu dengan menafsirkan lafadz ‘makanan ‘aliyyan’ dengan antariksa (bintang-bintang).
Kedua, di dalam tafsir al-Nazari, hal-hal yang gaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata/tampak atau dengan perkataan lain mengqiyaskan yang gaib ke yang nyata.
Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir.
2. Tafsir Sufi Isyari
التفسير الفيضى أو الإشارى .. هو تأويل آيات القرآن الكريم على خلاف ما يظهر منها بمقتضى إشارات خفية تظهر لأرباب السلوك، ويمكن التطبيق بينها وبين الظواهر المرادة .

Tafsir sufi Isyary adalah pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan. Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan tafsir isyari adalah bahwa al-Qur’an mencakup apa yang zhahir dan batin. Makna zhahir dari al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat yang ada dibalik makna tersebut.
Sedangkan menurut Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Zarqani dalam Manahil al-Irfan fi Ulum al-qur’an telah membuat definisi tafsir isyari sebagai berikut:
Pentakwilan atau penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan tidak berpijak kepada makna zahirnya, karena ada petunjuk (isyarat) yang tersembunyi yang tampak bagi mereka setelah melakukan suluk dan mendalami tasawuf, dan dapat menggabungkan antara arti yang tersurat dengan tersirat.
Menurut kaum sufi bahwa hakikat al-Qur’an tidak hanya terbatas pada pengertian yang bersifat lahiriah saja, tetapi tersirat pula makna batin yang justri merupakan makna terpenting. Senada dengan hal tersebut, adalah apa yang dikatakan oleh Nashirudin Khusru sebagai berikut: Tafsir teks al-Qur’an secara lahir adalah jasadnya akidah, sedangkan tafsir yang lebih mendalam ibarat rohnya. Mana mungkin jasad hidup tanpa roh?
Adz-Dzahabi dalam kitabnya memaparkan:
"لكل آية ظهر وبطن، ولكل حرف حد، ولكل حد مطلع"

Bahwa dalam ranah dhahir dan bathin, rujukan yang sering mereka (kaum sufi) pakai dalah pernyataan yang selalu dinisbatkan kepada Ali ‘Ibn Abi Thalib, bahwa setiap Al-Qur’an memiliki 4 makna: zahir, bathin, had dan mathla’.
Dari beberapa keterangan di atas, dapat dipahami bahwa al-Qur’an mempunyai kandungan lahir dan kandungan batin. Yang dimaksud dengan kandungan lahir adalah apa yang bisa dipahami berdasarkan aturan bahasa arab semata-mata. Oleh karenanya untuk bisa memahami makna lahir al-Qur’an itu tidak diperlukan syarat lain kecuali penguasaan terhadap bahasa Arab. Sedangkan kandungan bathinnya adalah apa yang dikehendaki oleh Allah dibalik lafadh-lafadh dan susunan kalimat bahasa Arab itu.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang keberadaan tafsir al- Isyari, ada yang melarang ada pula yang memperbolehkan. Diantar yang melarangnya adalah Imam al-Zarkasyi, Ibn al-Shalah dan juga Imam al-Suyuthi. Imam al-Suyuthi mengecam tafsir ini dan mengatakan bahwa “apa yang dikatakan oleh kaum sufi mengenai al-Qur’an bukan sebagai tafsir.
Sementara itu, ada beberapa Ulama’ yang mempertahankan dan membela tafsir jenis ini antara lain: al-Taftazani, Ibn Atha al-Iskandari, Mahmud Basuni Faudah.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada yang sepakat dengan tafsir sufi Isyari dan ada pula yang tidak sepakat. Oleh karenanya, perlu beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang ingin menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan Tafsir Sufi Isyari, yaitu:
أولاً: أن لا يكون التفسير الإشارى منافياً للظاهر من النظم القرآنى الكريم.
ثانياً: أن يكون له شاهد شرعى يؤيده.
ثالثاً: أن لا يكون له معارض شرعى أو عقلى.
وهذه الشروط الثلاثة قد أوضحناها فيما سبق، فلا حاجة بنا إلى إعادة توضيحها.
رابعاً: أن يدَّعى أن التفسير الإشارى هو المراد وحده دون الظاهر، بل لا بد أن نعترف بالمعنى الظاهر أولاً، إذ لا يطمع فى الوصول إلى الباطن قبل إحكام الظاهر "ومَن ادّعى فهم أسرار القرآن ولم يُحَكِّم التفسير الظاهر فهو كمن ادَّعى البلوغ إلى صدر البيت قبل أن يجاوز الباب".

Secara ringkas bahwa syarat-syarat tersebut adalah:
1. Tidak boleh bertentangan dengan makna zahir dari susunan kalimat ayat-ayat al-Qur’an
2. Harus didukung oleh kesaksian syara’ yang menguatkannya.
3. Tidak bertentangan dengan syara’ atau akal
4. Tidak mengandung penyelewengan-penyelewengan dari susunan kalimat lafadh al-Qur’an

D. Perbedaan Tafsir Sufi Nazari dan Tafsir Sufi Isyari

الفرق بينه وبين التفسير الصوفى النظرى
وعلى هذا فالفرق بين التفسير الصوفى الإشارى والتفسير الصوفى النظرى من وجهين.
أولاً: أن التفسير الصوفى النظرى، ينبنى على مقدمات علمية تنقدح فى ذهن الصوفى أولاً، ثم يُنزل القرآن عليها بعد ذلك.
أما التفسير الإشارى .. فلا يرتكز على مقدمات علمية، بل يرتكز على رياضة روحية يأخذ بها الصوفى نفسه حتى يصل إلى درجة تنكشف له فيها من سجف العبارات هذه الإشارات القدسية، وتنهل على قلبه من سُحُب الغيب ما تحمله الآيات من المعارف السبحانية.
ثانياً: أن التفسير الصوفى النظرى، يرى صاحبه أنه كل ما تحتمله الآية من المعانى، وليس وراءه معنى آخر يمكن أن تُحمل الآية عليه ..، هذا بحسب طاقته طبعاً.
أما التفسير الإشارى .. فلا يرى الصوفى أنه كل ما يُراد من الآية، بل يرى أن هناك معنى آخر تحتمله الآية ويُراد منها أولاً وقبل كل شىء، وذلك هو المعنى الظاهر الذى ينساق إليه الذهن قبل غيره.

Secara garis besar dapat dipaparkan sebagai berikut :

1. Tafsir sufi nazari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang sufi yang kemudian menafsirkan al-Qur’an yang dijadikan sebagai landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Qur’an.
2. Dalam tafsir sufi nazari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Qur’an mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat al-Qur’an mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Qur’an terdiri dari makna zahir dan batin.
E. Kelebihan dan Kelemahan Tafsir Sufi
Tafsir sufi termasuk dalam kategori tafsir Ilmy. Oleh karenanya, pemakalah mengambil kelebihan dan kekurangan dari tafsir Ilmy agar mencakup keseluruhannya:
1. Kelebihan:
[a] Ruang lingkup yang luas: Metode analisis mempunyai ruang lingkup yang termasuk luas. Metode ini dapat digunakan oleh mufassir dalam dua bentuknya; ma’tsur dan ra’y dapat dikembangkan dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufassir.
[b] Memuat berbagai ide: metode analitis relatif memberikan kesempatan yang luas kepada mufassir untuk mencurahkan ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan al-Qur’an. Itu berarti, pola penafsiran metode ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam dalam bentuk mufassir termasuk yang ekstrim dapat ditampungnya.
F. Masa Depan Tafsir Sufi
Pada awal 2009, khazanah tafsir al-Quran semakin diperkaya dengan terbitnya Tafsir al-Jaylani karya Syaikh Sayyid Abd al-Qadir al-Jaylani. Markaz al-Jaylani li al-Buhuts al-Ilmiyah, Istanbul, Turki, mengklaim bahwa penerbitan tafsir tersebut adalah yang pertamakalinya sepanjang bentangan sejarah kebudayaan Islam. Inilah salah satu bukti bahwa tafsir sufi mengalami perkembangan sesuai dengan zaman sekarang.
Kombinasi harmonis antara dimensi esoterik-sufistik dengan eksoterik-formalistik disejajarkan dengan perpaduan antara syariat dan hakikat. Perpaduan ini hendak menegaskan bahwa seorang sufi harus tetap perpedoman dan berpegang teguh pada aturan-aturan formal syariah. Di sisi lain, perpaduan dimensi esoteris dan eksoteris merupakan keniscayaan hermeneutis lantaran al-Quran, di mata al-Jaylani, memiliki gradasi cakrawala makna. Al-Quran, menurutnya, layaknya lautan samudra yang di dalamnya terdapat berbagai macam intan permata; sebuah ungkapan metaforis yang mengisyaratkan bahwa al-Quran, sebagai teks, mempunyai potensi ditafsirkan secara multi-interpretatif. Ada penafsir yang kompetensinya hanya mampu menjangkau makna literal berupa hukum-hukum formal, seperti para fuqaha. Ada juga penafsir yang mampu menelusupi relung-relung makna batin yang lebih subtansial, seperti para penafsir sufi.
Meski demikian, para penafsir sufi juga tak dapat bersepakat dalam menafsirkan teks al-Quran, sebab terdapat perbedaan level-level dalam memperoleh isyarat-isyarat intuitif Tuhan. Hal ini menunjukkan relativisme interpretatif yang tak dapat dipungkiri dan, oleh karenanya, Allah berfirman, “Walladzîna jâhadû fînâ lanahdiyannahum subulanâ” (Dan orang-orang yang berjihad di jalanku, maka aku akan menunjukkan berbagai jalan bagi mereka). Kata “subul” adalah bentuk plural dari sabil. Hal ini menunjukkan adanya keberagaman jalan menuju Tuhan, baik jalan syariat melalui penafsiran eksoteris, maupun jalan hakikat melalui jalan esoteris. Melihat keberagaman ini, maka Tafsir al-Jaylani hendak memadukan keduanya.
Harmonisasi antara esoterisme dan eksoterisme adalah karakter menonjol dalam Tafsir al-Jaylani. Hal ini tercermin pula dalam penafsirannya terhadap ayat “Huwa alladzi anzala ‘alayka al-kitâba, minhu ayatun muhkamatun hunna umm al-kitâb wa ukharu mutasyabihât. Fa ammalladzîna fi qulûbihim zayghun fayatabi’ûna ma tasyabaha minhu ibtighâ`al-fitnah wabtighâ`a ta`wîlihi. Wa ma ya’lamu ta`wîlahu illa Allah wa al-râsikhûna fi al-‘ilmi yaqûlûna amannâ bihi”. Al-Jaylani mendefinisikan ayat muhkamat sebagai dimensi eksoteris berupa hukum-hukum formal syariat, sementara mutasyabihat adalah dimensi esoteris berupa hikmah-hikmah dibalik kewajiban yang dibebankan kepada manusia serta hikmah-hikmah dibalik ketaatan dan ibadah. Al-Rasikhun adalah orang-orang sufi pemilik ilmu laduni yang didukung oleh intuisi dari Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang mengimani esoterisme ayat mutasyabihat sekaligus eksoterisme ayat muhkamat. Hal ini berbeda dengan pendapat para filosof paripatetik yang mendefinisikan al-Rasikhun sebagai para filosof.
Perbedaan antara pandangan al-Jaylani dengan pandangan para filosof adalah hal yang dapat dimaklumi, sebab al-Jaylani dikenal sebagai seorang sufi yang sangat getol mengritik para filosof dan melarang para pengikutnya mempelajari filsafat. Sikap al-Jaylani ini jelas mewakili mainstream Hanbaliyyah yang dikenal membenci filsafat Yunani sejak Ahmad bin Hanbal dianiaya oleh penguasa pro filsafat. Penolakan al-Jaylani terhadap filsafat semakin menguatkan kesimpulan bahwa Tafsir al-Jaylani bukanlah tafsir bercorak filosofis.
Hal mendasar yang perlu diuraikan adalah definisi al-Quran. Bagi al-Jaylani, al-Quran adalah “Akhlak Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya”. Definisi ini terbangun berdasarkan hadits “Takhallaqu bi akhlaqillah” (berakhlaklah dengan akhlak Allah). Beliau kemudian menyatakan bahwa setiap orang yang berakhlak sesuai dengan akhlak Allah maka ia masuk surga. Definisi ini diperjelas oleh “konsep teks”versi al-Jaylani yang menggambarkan kecenderungannya pada doktrin teologis Sunni. Ketika menafsiri ayat “Dzalika al-Kitabu la Rayba fihi”, al-Jaylani berkata,
“Tidak ada kebatilan dalam al-Quran karena ia diturunkan dari sisi Allah,
baik lafadz maupun maknannya. Dari segi lafadz, karena ia adalah mukjizat yang tak dapat ditandingi oleh para penyair dan ahli balaghah Arab. Dari segi makna, karena ia mencakup semua rahasia-rahasia ghaib yang tak dapat dilihat kecuali oleh Nabi dan para sufi”
Inklinasi sektarianistik al-Jaylani lebih dekat kepada doktrin Sunni, khususnya dalam pandangannya bahwa al-Quran adalah teks sekaligus makna. Tapi pandangan teologis seputar al-Quran ini kemudian dibalut dengan pandangan sufistiknya, seperti tercermin dalam statemen al-Jaylani di atas. Inklinasi Sunni ini dapat ditelusuri pula dalam beberapa karyanya yang mengandung kritik terhadap lawan-lawan ideologisnya. Seperti dikatakan oleh para penulis biografi al-Jaylani, ia sangat getol menghantam paham Mu’tazilah dan pengikut antropomorfisme (Mujassimah). Kemudian, dalam versi bacaan, al-Jaylani mengikuti versi Hafsh. Dalam ayat-ayat hukum, al-Jaylani menganut madzhab Hanbaliyyah dan Syafi’iyyah.
Ciri khas Tafsir al-Jaylani yang terkesan ekstrem adalah keberanian al-Jaylani dalam menyingkap cadar-cadar ayat mutasyabihat. Sebagai sample, misalnya, ia menafsirkan alif-lam-mim dengan penafsiran “Wahai Insan kamil yang pantas menjadi khilafahku di muka bumi dan yang senantiasa berupaya menyingkap rahasia-rahasia ketuhananku”. Teori insan kamil hendak menegaskan kesempurnaan Muhammad saw sebagai teofani Tuhan.

G. Analisis
Tidak ada penalaran yang jelas yang menghubungkan antara nash al- Qur’an dengan tafsir Bathin yang dikemukakan oleh para sufi. Kecuali para sufi itu melihat nash al-Qur’an sebagai isyarat bagi makna batin tertentu. Karena itu, tafsir sufi juga sering disebut tafsir isyari. Yang pengertiannya menurut versi al- Zarqani adalah menafsirkan al- Qur’an tidak dengan makna dhahir, melainkan dengan makna batin, karena ada isyarat tersembunyi yang terlihat oleh para sufi. Namun demikian, tafir batin tersebut masih dapat dikompromikan dengan makna zahirnya.
Jadi, isyarat-isyarat Al-Qur’anlah yang direnungkan oleh para sufi, sehingga mereka sampai pada makna batin Al-Qur’an. Dan disinilah letak masalahnya, karena isyarat sangat rentan untuk disalah- tafsirkan atau disalahgunakan. Misalnya, penyalahgunaan yang dilakukan oleh kaum Bathiniyah. Dengan dalih bahwa di balik makna zahir Al-Qur’an tersimpan makna batin, mereka mengembangkan tafsir batin yang disesuaikan dengan ajaran-ajaran mereka sendiri. Misalnya saja ketika mereka menafsirkan surat al-Hijr ayat 99 (QS.15:99) ( وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَى يَاْتِيَكَ الْيَقِيْنُ ) . Menurut pendapat jumhur, ayat itu berarti “sembahlah Tuhanmu sampai ajal tiba”. Namun kaum Bathiniyah mengembangkan penafsiran sendiri. Menurut mereka makna ayat itu adalah “barangsiapa telah mengerti makna ibadah, maka gugurlah kewajiban bagnya”.
Jelas bias kesektariannya sangatlah kental dalam tafsir kaum bathiniyah. Dan para sufi mencela penafsiran seperti itu. Walaupun mereka juga menggali tafsir batin Al-Qur’an, namun para sufi merasa bahwa tafsir mereka tidaklah sama dengan tafsir kaum Bathiniyah; Pertama karena penafsiran mereka diperoleh mengalau kasyaf. Kedua, karena mereka tidak mengabaikan makna zahir Al-Qur’an sebagaimana yang dilakukan kaum Bathiniyah. Namun demikian, apakah betul karena itu, yakni karena berbeda dengan kaum Bathiniyah, sehingga tafsir sufi steril dari bias sectarian? Masalah ini perlu dielaborasi lebih lanjut.
Jadi, isyarat- isyarat al-Qur’an lah yang direnungkan oleh para sufi, sehingga mereka sampai pada makna batin al-Qur’an. Dan disinilah letak Tafsir sufiy, menafsirkan al-Qur’an dengan lebih mengedepankan segi batiniyahnya dan mengesampingkan makna sebenarnya. Padahal makna lahir dan bathin sama pentingnya. Sehingga jika seseorang mencoba menafsirkan al-Qur’an dengan tafsir Sufi harus melewati maqam-maqam dalam tingkatan orang sufi.
Jika tidak dapat mencapainya maka akan sulit dimengerti makna dari balik penafsiran al-Qur’an dengan menafsirkan sebatas kemampuan minimal yang dimilikinya. Karena orang sufi dalam menafsirkan al-Qur’an mereka merasa sudah dekat dengan Allah sehingga tidak perlu melihat makna yang sebenarnya. Oleh karena itu, kita juga harus berhati-hati terhadap penafsiran al-Qur’an khususnya dalam corak tafsir sufi. Karena, jika salah memahaminya akan membuat kita salah dalam penafsiran al-Qur’an.
Jika dikaitkan dengan perkembangan zaman seperti ini, Tafsir al-Jaylani sebagai salah satu contoh tafsir sufi yang ada saat ini kembali menemukan relevansinya. Secara gigih al-Jaylani telah menganjurkan hidup secukupnya, tak berlebihan (israf), dan tak gila dunia (asceticism/zuhud). Harta dunia bukan tujuan utama; ia tak lebih sekadar kendaraan menuju Terminal Abadi yang membutuhkan bahan bakar budi pekerti. Tafsir al-Jaylani juga memuat kritik sosial yang cukup pedas terhadap despotisme, korupsi, dan kecenderungan Islam formalistik yang mengabaikan nilai-nilai etika-moral.




BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Tafsir shufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi yang mereka lebih mementingkan bathinnya lafal daripada lahirnya.
2. Dalam tafsir shufi terdapat dua corak tafsir, yaitu; tafsir sufi nazhari dan tafsir sufi isy’ari
3. Tafsir sufi nazhari adalah tafsir produk sufi teoritis, sedangkan tafsir sufi isyari adalah tafsir produk sufi praktis.
4. Tafsir sufi nazari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang sufi yang kemudian menafsirkan al-Qur’an yang dijadikan sebagai landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Qur’an.
5. Dalam tafsir sufi nazari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Qur’an mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat al-Qur’an mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Qur’an terdiri dari makna zahir dan batin.
6. Dalam perkembangannya tafsir sufi sesuai dengan zamannya. Seperti tafsir Al-Jailany yang muncul akhir-akhir ini dan secara gigih al-Jaylani telah menganjurkan hidup secukupnya, tak berlebihan (israf), dan tak gila dunia (asceticism/zuhud). Harta dunia bukan tujuan utama; ia tak lebih sekadar kendaraan menuju Terminal Abadi yang membutuhkan bahan bakar budi pekerti. Tafsir al-Jaylani juga memuat kritik sosial yang cukup pedas terhadap despotisme, korupsi, dan kecenderungan Islam formalistik yang mengabaikan nilai-nilai etika-moral.



DAFTAR PUSTAKA
al-Farmawi, Abd al-Hayy. 1977. Al-Bidayah fi Tafsir al-Maudhu’I . Mesir: Maktabah Jumhuriyah.

Shihab, M. Quraish. 2001. Sejarah dan ulum al- Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus
al-Syurbasi, Ahmad. 1988. Qishashah al-Tafsir. Beirut: Dar-al-Jayl.
____.Karaktristik Tafsir Sufi. http://uin-suka.info/ejurnal/index
Ichwan, Mochammad Nur. 2004. Tafsir Ilmiy. Jogjakarta: Menara Kudus.
al-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-Azhim. 1988. Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an jilid II. Beirut: Dar Al-Fikr

Adz.-Dzahabi, Muhammad Husein. 1995 M. Tafsir al-Mufassirun. Kairo: Maktabat wa Hibbah.
Massignon, Louis, Mustafa A. Raziq.2001. Islam dan Tasawwuf. Yogyakarta: PT. Fajar Putaka Baru

Daudy, Ahmad. Kuliah Ilmu Tasawuf. 1998. Jakarta: PT. Bulan Bintang
al-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-Azhim. 1988. Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an jilid II. Beirut: Dar Al-Fikr

___________, http://shareurs.wordpress.com/2009/05/11/tafsir-syaikh-abd-al-qadir-al-jaylani

Thabaththaba’I, Allamah M.H. 1993. Islam Syi’ah asal Usul dan Perkembangannya. Jakarta: Pustaka Utama Graffiti

Faudah, Mahmud Basuni. 1987. Tafsir-tafsir Al-Qur’an Perkenalan dengan Metode Tafsir. Bandung: Penerbit Pustaka

Solihin, M. 2003. Tasawuf Tematik Membedah Tema-tema Penting Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar